DEPOK - Peneliti Pusat Studi Pancasila dan Dosen
Fakultas Psikologi Universitas Pancasila Jusuf Sutanto menilai Indonesia
berada dalam posisi yang unik dalam hal peradaban. Karakternya pun unik
karena hampir semua tradisi besar dunia dari Timur dan Barat, pernah
mengunjungi bumi Nusantara.
Pengalaman tersebut, kata dia, berguna untuk membangun peradaban masa depan apalagi di era teknologi informasi yang demikian intense dan massif di masyarakat. Karena itu, kata dia, pentingnya pendidikan karakter kebangsaan harus dilakukan secara keberlanjutan.
"Awal mula pendidikan Barat dan Timur berlainan. Dimulai dari Tiongkok yang mengaku bahwa mereka ini pusat peradaban. Lalu saat di barat, 200 tahun lalu ilmu pengetahuan dan tekno berkembang. Karakter kita akan tentukan masa depan kita," ungkapnya, dalam seminar dan kuliah umum Koentjaraningrat Memorial Lecture dengan tema Pendidikan Nasional dan Kearifan Timur: Menimbang Paradigma Alternatif dalam Pembentukan Karakter Bangsa, Kampus UI, Depok, Rabu (15/5/2013).
Ia menganalogikan simbol Dewa Shiva sebagai simbol masyarakat India. Dimana dewa tersebut terdiri dari empat tangan yang dimaksudkan bahwa pendidikan bisa disebar ke empat penjuru dunia. Dewa tersebut juga menginjak seorang bayi yang mengartikan bahwa kebodohan sesuatu yang kerdil.
"Hanya melalui pendidikan, maka kesengsaraan dan kebodohan bisa diatasi, orang yang melihat Shiva itu dewa ilmu pengetahuan, patungnya menginjak bayi dijelaskan simbol kekerdilan. Pikiran yang kerdil, perasaan egois dan semua 'aku'. Simbol mengangkat tangan sebagai simbol ikhtiar, pendidikan harus disebarkan ke seluruh dunia. Tak boleh hanya dengan elit," jelasnya.
Sifat egois dalam kehidupan berbangsa, kata dia, bisa membuat masyarakat menjadi chaos, karena semuanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya.
"Contoh cikal bakal persatuan dalam pendidikan nasional setelah 1908 lalu 20 tahun kemudian pada 1928, di mana pemuda Indonesia bisa legowo menerima bahasa melayu menjadi bahasa kesatuan," tandasnya.
Pengalaman tersebut, kata dia, berguna untuk membangun peradaban masa depan apalagi di era teknologi informasi yang demikian intense dan massif di masyarakat. Karena itu, kata dia, pentingnya pendidikan karakter kebangsaan harus dilakukan secara keberlanjutan.
"Awal mula pendidikan Barat dan Timur berlainan. Dimulai dari Tiongkok yang mengaku bahwa mereka ini pusat peradaban. Lalu saat di barat, 200 tahun lalu ilmu pengetahuan dan tekno berkembang. Karakter kita akan tentukan masa depan kita," ungkapnya, dalam seminar dan kuliah umum Koentjaraningrat Memorial Lecture dengan tema Pendidikan Nasional dan Kearifan Timur: Menimbang Paradigma Alternatif dalam Pembentukan Karakter Bangsa, Kampus UI, Depok, Rabu (15/5/2013).
Ia menganalogikan simbol Dewa Shiva sebagai simbol masyarakat India. Dimana dewa tersebut terdiri dari empat tangan yang dimaksudkan bahwa pendidikan bisa disebar ke empat penjuru dunia. Dewa tersebut juga menginjak seorang bayi yang mengartikan bahwa kebodohan sesuatu yang kerdil.
"Hanya melalui pendidikan, maka kesengsaraan dan kebodohan bisa diatasi, orang yang melihat Shiva itu dewa ilmu pengetahuan, patungnya menginjak bayi dijelaskan simbol kekerdilan. Pikiran yang kerdil, perasaan egois dan semua 'aku'. Simbol mengangkat tangan sebagai simbol ikhtiar, pendidikan harus disebarkan ke seluruh dunia. Tak boleh hanya dengan elit," jelasnya.
Sifat egois dalam kehidupan berbangsa, kata dia, bisa membuat masyarakat menjadi chaos, karena semuanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya.
"Contoh cikal bakal persatuan dalam pendidikan nasional setelah 1908 lalu 20 tahun kemudian pada 1928, di mana pemuda Indonesia bisa legowo menerima bahasa melayu menjadi bahasa kesatuan," tandasnya.
sumber : http://kampus.okezone.com